Senin, 09 Oktober 2017

OTONOMI DAERAH MASA REFORMASI






OTONOMI DAERAH
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pergerakan Indonesia Modern






 Disusun Oleh :  
Kelompok XIII
 SKI/A/VI

                             MUNFIQOH         
                               (143500407)


JURUSAN SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN, DAKWAH DAN ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
“ SMH “ BANTEN 2017/2018


 


A.    Pendahuluan
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada awal tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada 1997 juga, mendorong keinginan kuat dari pemerintah pusat untuk melepaskan sebagian wewenang pengelolaan keuangan kepada daerah dan diharapkan dapat membiayai kegiatan pembangunan dan pelayanan masyarakat atas dasar kemampuan keuangan sendiri. Dengan kata lain, penurunan penerimaan negara secara simultan telah mendorong timbulnya inisiatif pemberian status otonomi kepada daerah otonom sebagaimana telah di atur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 sebagai sebutan bagi pemerintah Provinsi/kabupaten Kota di era sebelum otonomi daerah.
Otonomi daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No 22 Tahun 1999 sebagai titik awal pelaksanaan otonomi daerah maka pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat.
Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 serta regulasi pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah No 104 sampai dengan Peraturan Pemerintah No 110 Tahun 2000 yang berlaku Efektip 1 Januari 2001. Dengan dikeluarkannya UU tersebut, maka telah terjadi perubahan secara menyeluruh terhadap pelaksanaan tata pemerintahan yang telah dilaksanakan oleh aparatur pemerintahan. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba menjabarkan, bagaimana Otonomi Daerah di Indonesia berlangsung, bagaimana cara menjalankan otonomi daerah sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
B.     Latar Belakang Terbentuknya Otonomi Daerah
Pada masa kepemerintahan Soeharto atau Orde Baru segala kebijakan harus berdasar dari pemerintah pusat ini dikarenakan pada waktu sebelum adanya otonomi daerah menggunakan prinsip desentarlisasi. Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang pada level bawah pada suatu organisasi, pemberian wewenang seluruhnya dipusatkan pada pemerintah pusat saja. Pendelegasian wewenang atau desentralisasi pertama yang dilakukan secara menyeluruh dalam wilayah nusantara, baru tercatat dalam sebuah regulasi tahun 1903 ketika pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Decentralisatie wet atau UU Desentralisasi. Ini berarti selama 300 tahun sejak VOC Belanda memonopoli perdagangan dan mendominasi sistem politik Nusantara, baru sekali inilah Desentralisasi diperkenanlkan kepada rakyat.
Pada waktu regulasi desentralisasi dijalankan, wilyah Hindia Belanda terbagi dalam delapan daerah. Wewenang urus diri ini diberikan kepada Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Daerah lain tanpa otonomi adalah Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan Irian. Namun, dengan rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan suatu visi yang baru mengenai kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, yaitu pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat (Civil Right). Pada masa Orde Baru hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah pusat. Keadaan ini telah melahirkan suatu pemerintah yang sentralistis dan otoriter sehingga telah mengabaikan hak-hak daerah.[1]
Berikutnya, regulasi itu direvisi pada tahun 1922 menjadi UU Bestuurshervormings wet atau Pertaturan Dasar Ketatanegaraan Hindia Belanda. Disinilah mulai dikenal adanya wilayah yang disebut, Provinsi atau Kabupaten. Kemudian, dengan lahirnya era reformasi dipenghujung tahun 1990 membawa perubahan-perubahan fundamental dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam tata hubungan politik pemerintahan dan kenegaraan. Otonomi Daerah bergulir terus setelah Indonesia merdeka dan ditandai dengan lahirnya UU nomor 1 tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah menurut ketentuan pasal 18 UUD 1945. Berdasarkan UU ini kepala daerah menjalankan dua fungsi, yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat. Seterusnya UU itu diubah menjadi UU nomor 22 tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan pokok mengenai pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.
Lantas lahir UU nomor 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, dan tak lama kemudian berubah lagi menjadi UU nomor 18 tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintah daerah. Yang lantas direvisi berikutnya, hadirlah UU nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan daerah pada masa pemerintahan presiden B.J. Habibie. Revisi masih terus berlanjut dengan hadirnya UU nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Namun kebijakan format otonomi daerah tersebut dinilai dan dievaluasi memiliki banyak kelemahan sehingga perlu direvisi. Salah satu kelemahannya yaitu kewenangan pemerintah pusat masih sangat besar dan mengalami ambivalensi karena yang diatur disana hanya merupakan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.[2]
Maka lahirlah menjadi UU nomor 32 tahun 2004 dan UU nomor 33 tahun 2004, memperjelas dan merinci syarat bagi pembentukan suatu daerah otonom baru. Hal mana yang tidak diatur dengan jelas dalam UU sebelumnya. Pembentukan daerah otonom baru dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau beberapa daerah yang besrsanding atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. UU nomor 32 tahun 2004 menetapkan tiga syarat pembentukan suatu daerah otonom baru. Meliputi syarat administratif, syarat teknis, dan syarat fisik kewilayahan.
C.    Pengertian Dan Tujuan Otonomi Daerah
1.      Pengertian Otonomi Daerah
Secara etimologis, otonomi diartikan sebagai pemerintahan sendiri (auto= sendiri; nomes = pemerintahan). Dalam bahasa Yunani, istilah otonomi berasal dari kata autos = sendiri, nemein = menyerahkan atau memberikan, yang berarti kekuatan mengatur sendiri. Sehingga secara maknawi (begrif), otonomi mengandung pengertian kemandirian dan kebebasan mengatur dan mengurus diri sendiri.[3] Dengan demikian, pengertian otonomi menyangkut dengan dua hal pokok yaitu: kewenangan untuk membuat hukum sendiri (own laws) dan kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri (self goverment). Otonomi dapat ditentukan berdasarkan teritorial (otonomi teritorial) ataupun berdasarkan fungsi pemerintahan tertentu (otonomi fungsional), sehingga keduanya lazim disebut masing-masing dengan desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Berdasarkan otonomi teritorial, negara sebagai satu kesatuan teritorial, dibagi-bagi ke dalam satuan-satuan pemerintahan teritorial yang lebih rendah, yang dinamakan daerah otonom. Karena daerah otonom dibentuk dari dan oleh satuan pemerintahan yang lebih besar  (pemerintahan nasional).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) terdapat kosakata otonomi yang diterjemahkan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam kamus yang sama juga terdapat kosakata lain, yakni swatantra yang berarti pemerintahan sendiri atau otonomi. Tetapi karena swatantra tidak begitu membumi sebagai kosakata politik, maka regulasi penting tentang pembagian kekuasaan pusat dan daerah itu tidak dinamakan paket undang-undang swatantra. Ketika otonomi daerah diberlakukan di Indonesia, sebenarnya pelaksanaan otonomi di Nusantara sudah sejak lama. Masyarakat Batak Tobazaman silam sudah menggunakan konsep otonomi daerah yang disebut bius, yakni tingkatan wilayah yang lebih tinggi dari wilayah huta atau horja. Dalam cakupan wilayah kecil ini, bius menetapkan peraturan-peraturan yang disebut pitara atau patik (tertib aturan). Bius juga mendelegasikan kekuasaan kepada organisasi dibawahnya, yakni kepala huta atau kepala desa yang disebut raja huta, serta kepala horja yang dinamakan raja parjolo atau raja terdepan.[4]
2.      Tujuan otonomi daerah
Salah satu misi untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia dimasa depan adalah perwujudan otonomi daerah dalam rangka pembangunan daerah dan pemerataan pertumbuhan daerah. Arah kebijakan peningkatakan otonomi daerah adalah: mengembangkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, melakukan pengkajian atau kebijakan tentang berlakunya otonomi daerah provinsi, kabupaten/kota dan desa, dan mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dan mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi perijinan dan investasi serta memberdayakan Dewan Perwakilan Daerah dalam rangka melaksanakan fungsi dan perannya guna penyelenggaraan otonomi daerah. Yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan arah kebijakan tersebut, maka daripada tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah untuk memberdayakan masayarakat melalui upaya pelayanan masayarakat secara lebih efektif, efesien, akuntabel, transparan, dan responsif.
D.    Hubungan Desentralisasi Dengan Otonomi Daerah
Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hoessien dikutip dalam buku siswanto Sunarno, desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom atau penyerahan wewenang tertentu kepada pemerintah pusat. Philip Mahwod dalam buku Siswanto Sunarno juga mengatakan bahwa desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain masing-masing memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu Negara.
            Dari definisi kedua pakar diatas, menurut Jayadi N.K. dalam buku Siswanto Sunarno, bahwa mengandung empat pengertian: pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi juga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat; keempat, kekuasaan yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok masayarakat dalam wilayah tertentu.[5]
E.     Konsep Otonomi Daerah
            Hak atau wewenang otonomi daerah meliputi pengaturan pemerintah dan pengelolaan pembangunan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pada dasarnya ada dua alasan pokok mengapa dipertemukan otonomi daerah tersebut. Pertama, adalah Political Equality yaitu guna meningkatkan partisipasi politik masyarakat pada tinggkat daerah. Hal ini penting artintya untuk meningkatkan demokrasi dalam  pengelolaan negara. Kedua, Lockal Accountabillity yaitu meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah. Hal ini sangat penting artinya dalam rangkameningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kemasyarakatan respons pemerintah daerah terhadap masalah-masalahsosial ekonomi yang tderjadi di daerahnya. Unsur ini sangat penting bagi peningkatan upaya pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial didaerah.

F.     Asas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah
            Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain pasal 1 undang-undang no 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, dan pasal 1 UUD no 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta pasal 1 UUD no 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Sebagai pemahaman diatas berikut beberapa asas pemerintah daerah otonom.
1.      Asas desentralisasi, yaitu pelimpahan kekuasaan pemerintah daerah pusat kepada daerah-daerah yang mengurus urusan rumah tangganya sendiri (daerah-daerah otonom), desentralisasi juga sebuah cara atau sistem untuk mewujudkan asas demokrasi yang memberikan kesempatan pada rakyat untuk ikut serta dalam pemerintahan negara.[6]
2.      Asas dekosentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah (pusat) kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Dekonsetrasi ini dalam sistem pemerintahan daerah dijalankan hanya berada di pemerintah daerah provinsi. Sistem ini dijalankan oleh gubernur dan beberapa kantor wilayah (kanwil) departemen yang kewenangannya tidak didesentralisasikan di pemerintah daerah. Di pemerintah provinsi yang diberi hak dan wewenang melaksanakan kewenangan dekosentralisasi adalah hanya gubernur bukan pemerintah daerah provinsi, dan kanwil dari instansi vertikal di wilayah tertentu (Pasal 1 ayat 8 UU 32/2004).[7]
3.      Asas tugas pembantuan, tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintahan pusat kepada daerah dan desa, dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tuga tertentu yang disertai pembiyayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan. Pemerintah provinsilah yang memberi tugas itu.
Sedangkan dalam Pedoman pemerintahan yang diatur dalam Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004. Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan negara yang terdiri atas sebagai berikut:
·         Asas kepastian hukum adalah asas yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dann keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
·         Asas tertip penyelenggara adalah asas menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.
·         Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
·         Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informas yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggara negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara.
·         Asas proporsinalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban.
·         Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keadilan yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·         Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·         Asas efisiensi dan efektifitas adalah asas yang menjamin terselenggaranya kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya tersedia secara optimal dan bertanggung jawab (efisiensi = ketepatgunaan, kedaygunaan, efektivitas = berhasil guna).[8]

G.    Hakikat Otonomi Daerah
            Berdasarkan pengertian-pengertian otonomi daerah tersebut dapat disimpulkan bahwa hakikat otonomi daerah adalah sebagai berikut:
1.      Daerah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri, baik, jumlah, macam, maupun bentuk pelayanan masyarakat yang sesuai kebutuhan daerah masing-masing.
2.      Daerah memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, baik kewenangan mengatur maupun mengurus rumah tangga pemerintahan sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[9]
H.    Prinsip Otonomi Daerah
Prinsip ototnomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya, prinsip otonomi yang nyata, dan berprinsip otonomi yang bertanggung jawab. Jadi, kewenangan otonomi yang diberikan terhadap daerah adalah kewenangan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Berikut prinsip-prinsip otonomi daerah.
Prinsip otonomi seluas-luasnya, artinya daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan terhadap bidang politik luar negeri, keamanan, moneter, agamar, peradilan, dan keamanan. serta fiskal nasional.[10]
Prinsip otonomi nyata, artinya daerah diberikan kewenangan untuk menangani urusan pemerintahan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
I.       Pokok-pokok Pikiran Otonomi Daerah
Otonomi daerah adalah wacana yang hangat dibicarakan dan diperdebatkan karena menyangkut bagaimana upaya negara untuk menyejahterakan rakyat. Di Indonesia, wacana otonomi daerah menguat di tahun 1990-an. Dalam kurun waktu cukup lama, Indonesia telah melaksanakan pemerintahan yang terpusat dengan paradigma pembangunan sebagai landasan nilai yang menjadi acuan kebijakan pemerintah. Sistem sentralistik yang mengakar kuat dan mendarah daging membuat isu desentralisasi atau otonomi daerah menjadi ‘barang asing’ yang bahkan definisinya pun tidak mudah untuk dipahami. Meskipun keluarnya Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan hubungan keuangan pusat-daerah sudah cukup meredam tuntutan aspirasi daerah.[11]
Pengertian otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 sebagai amandemen UU No. 22 Tahun 1999 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepala daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gagasan otonomi daerah merupakan konsep yang masih kabur. Para penggagas otonomi daerah tidak menjelaskan secara jernih konsep yang ditawarkannya, bahkan sekedar mendefinisikan konsepkonsep tersebut. Misalnya, sampai sejauh mana atau sampai sebatas mana otonomi yang seluas luasnya itu; apakah yang dimaksud dengan federalisme dalam kerangka negara kesatuan adalah konsep yang dicampuradukkan atau penerapan konsep-konsep negara bagian untuk beberapa provinsi saja; apakah kekhususan dari otonomi khusus; apakah otonomi penuh berarti pemerintahan sendiri dalam artian pemerintah daerah memiliki hak dan kekuasaan penuh dalam menentukan arah dan tindakannya sendiri. Semuanya serba tidak jelas dan memicu diskusi yang lebih bersifat debat. Bagaimana pun juga, otonomi merupakan kebutuhan, karena tidak mungkin seluruh persoalan yang ada di satu negara di tangani oleh pemerintah pusat. Terlebih lagi, Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari wilayah yang dipisahkan oleh perairan.
Masing-masing wilayah memiliki ciri khas berdasarkan letak geografis, kondisi alam dan sosiokulturalnya. Persoalan yang timbul dari keberagaman wilayah dan sosiokultural masyarakat pun tentunya akan sangat kompleks. Dari kenyataan ini saja dapat dinilai betapa otonomi daerah dan desentralisasi sistem pemerintah perlu dilakukan agar persoalan dan aneka kompleksitas yang muncul tidak memberikan implikasi negatif terhadap integrasi. Otonomi daerah merupakan sistem yang memungkinkan daerah untuk memiliki kemampuan mengoptimalisasi potensi terbaik yang dimilikinya dan mendorong daerah untuk berkembang sesuai dengan karakteristik ekonomi, geografis, dan sosial budayanya.
Perkembangan daerah yang sesuai dengan karakteristiknya ini akan mengurangi kesenjangan antardaerah yang selama ini terakumulasi, dan pada akhirnya dapat mencegah disintegrasi bangsa. Ada dua pendekatan yang didasarkan pada dua proposisi.  Pertama, pada dasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan, merumuskan, dan memecahkan persoalan, kecuali untuk persoalan-persoalan yang tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan negara-bangsa. Kedua, seluruh persoalan pada dasarnya harus diserahkan kepada pemerintah pusat kecuali untuk persoalanpersoalan tertentu yang telah dapat ditangani oleh daerah. Yang pertama disebut sebagai pendekatan federalistik, sedangkan yang kedua sebagai pendekatan unitaristik.
J.      Pemahamam Konflik dalam Otonomi Daerah
Otonomi daerah lahir atau kembali diterapkan kembali ke dalam sistem kekuasaan di Indonesia adalah sebagai bentuk jalan keluar untuk mendistribusikan rasa keadilan kepada daerah yang selama masa Orde Baru diabaikan. Pada masa Orde Baru, otonomi daerah ditetapkan melalui UU No. 57 Tahun 1974 yang menitikberatkan pada daerah tingkat II. Hanya saja, terlihat bahwa bentuk otonomi yang dijalankan lebih merupakan ‘sarana’ untuk memudahkan kontrol pusat terhadap daerah. Pemerintahan di tingkat daerah hanya merupakan representasi pusat yang bersifat administratif, pelaksana kebijakan pusat dan tidak memiliki ruang untuk mengatur ‘diri sendiri’. Dalam hal hubungan antara negara dengan rakyat, birokrasi praktis menjadi kendaraan yang efektif untuk melakukan managing people, mengatur seluruh kegiatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[12]
Melalui birokrasi masyarakat diatur dalam berbagai bentuk aturan yang kerap kali tidak sesuai dengan kebutuhan obyektif, lebih merupakan kepentingan pusat. Masyarakat tidak diberikan ruang berpartisipasi mengatur apa yang mereka butuhkan dalam bermasyarakat dan bernegara. Masyarakat benar-benar diposisikan sebagai obyek daripada sebagai subyek. Birokrasi telah kehilangan rasionalitasnya, yang mengharuskannya bersikap obyektif, netral, dan politik.
Usaha Orde Baru melakukan birokratisasi dan politik korperatif, tidak lepas dari strategi pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga membutuhkan stabilitas politik sebagai prasyarat pencapaian target pertumbuhan ekonomi. Karena itu, depolitisasi melalui perangkat birokrasi merupakan cara yang efektif untuk menciptakan iklim politik yang stabil. Korperatisme negara sendiri sebenarnya memiliki arti ideal sebagai upaya negara membuat segmentasi masyarakat secara vertikal, mengungkung individu dan kelompok dalam kerangka struktur yang ditetapkan secara legal yang mendapatkan legitimasi dan diintegrasikan oleh suatu pusat birokrasi yang tunggal.
Proses birokratisasi dan politik korperatif dilaksanakan untuk memperlancar kebijakan-kebijakan yang telah dirumuskan oleh teknokrat di tingkat pusat, sehingga dapat mengeliminasi kemungkinan adanya resistensi dari dalam masyarakat. Pemerintah tidak ragu untuk menyingkirkan pihak-pihak yang tidak mendukung kebijakan pembangunan, dan pada waktu yang sama juga akan merangkul pihak-pihak yang mendukung kebijakannya. Untuk mendukung srategi politik represif dalam menangani resistensi dari masyarakat, pemerintah juga menggunakan instrumen militer. Hal tersebut dapat dilihat dari pembentukan pos-pos militer hingga ke distrik terendah. Dengan demikian pemerintah dengan mudah memantau dan cepat dapat menangkap gejala-gejala resistensi dari dalam masyarakat.
Usaha pemerintah untuk menciptakan stabilisasi politik, juga dilakukan melalui strategi ideologis, dengan cara menanamkan pemahaman betapa pentingnya harmoni dalam masyarakat. Strategi ideologi ‘harmoni’ dirumuskan oleh pemerintah ke dalam apa yang disebut dengan tri “S”; Selaras, Seimbang dan Serasi. NIdeologisasi harmoni oleh Orde Baru ini seolah mendapatkan pembenaran dari doktrin agama maupun budaya bahwa keharmonisan hidup dalam bermasyarakat merupakan cita-cita luhur yang selalu ditekankan.[13]
Dalam ajaran Tuhan, manusia dituntut untuk patuh pada perintahNya, diwajibkan hidup selaras, serasi dan seimbang dengan manusia lainnya serta dengan alam sekitarnya. Dalam kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, kehidupan sosial yang rukun, damai, aman, bahagia, sentosa mendapat legitimasi dari ideologi negara, Pancasila. Ideologi harmoni dipolitisasi oleh Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan. Akselerasi penerimaan ideologi harmoni dalam masyarakat, dilakukan melalui berbagai strategi, mulai dari menutup pintu adanya perbedaan pendapat, hingga dengan cara indoktrinasi yang dilakukan secara sistematis melalui pola Penataran Pendidikan Moral Pancasila (P4).
Pola kekuasaan yang sentralistis dan kebijakan yang bersifat top down, mengakibatkan ketidakseimbangan secara sosial, politik dan ekonomi di tengah masyarakat. Birokrasi menjadi mesin politik penguasa. Para pejabat birokrasi berperilaku asal bapak senang (ABS), pasif, menunggu instruksi atasan dan mengabaikan kepentingan umum. Masyarakatpun menjadi tidak dapat mandiri mengelola dan menyelesaikan konflik yang mereka hadapi, serta memberikan loyalitas yang tidak rasional kepada struktur kekuasaan. [14]
Tumbuhnya organisasi swadaya masyarakat (LSM) yang menyuarakan kepentingan dan aspirasi rakyat disikapi oleh pemerintah secara represif, dinilai berpotensi dapat mengganggu pembangunan. Contoh kasus tragedi Waduk Nipah dan Waduk Kedungombo, yang kedua-duanya terjadi pada pertengahan tahun 1990-an, memperlihatkan bagaimana pemerintah memperlakukan masyarakat bukan bagian dari pembangunan dan disikapi secara represif.
Reformasi politik yang diawali oleh gerakan mahasiswa dan pergantian pucuk pimpinan nasional, dari Soeharto kepada Habibie telah membuka kembali pintu bagi daerah untuk mengatur dirinya secara otonom.[15] Pemerintahan Habibie saat tu telah menerbitkan Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Anggaran Keuangan antara Pusat dan Daerah. Penerbitan kedua Undang-undang tersebut merupakan wujud dari komitmen pemerintah untuk mengembalikan hak otonomi daerah untuk mengatur wilayahnya secara mandiri yang selama Orde Baru dikendalikan oleh pusat dan dituding sebagai penyebab ketidakseimbangan distribusi pembagian kue pembangunan oleh pusat kepada daerah. Daerah hanya menjadi perahan pusat.
            Penerimaan daerah yang diberikan oleh pusat tidak sebanding dengan yang diberikan daerah kepada pusat. Hanya saja daerah tidak dapat berbuat banyak, akibat tekanan melalui politisasi birokrasi yang sistematis. Beberapa gerakan separatis di daerah pada intinya merupakan bentuk ketidak puasan ‘daerah’ terhadap ketidakadilan pembangunan yang berorientasi pusat, seperti GAM di Aceh dan OPM di Papua – dahulu Irian Jaya. Gerakan perlawanan sekelompok masyarakat, hal tersebut dilakukan karena pemerintahan dan birokrasi di daerah tidak berdaya menghadapi pusat dan berperan lebih sebagai representasi pusat dari masyarakat. Pemberian otonomi yang sangat besar kepada daerah, disatu sisi merupakan langkah maju bagi proses demokratisasi di tingkat lokal yang menghormati realitas kemajemukan dalam masyarakat. Model ini sejalan dengan konsep demokrasi lokal yang memberikan hak otonomi kepada sekolompok masyarakat yang mendiami wilayah tertentu, sesuai dengan karateristik dan aspirasi lokal.
Selain itu pemberlakukan otonomi juga telah membawa perubahan pola hubungan antarlembaga pemerintahan, tidak lagi bersifat hirarkis. Hubungan antarlembaga pemerintahan berjalan seimbang dan berubah menjadi hubungan antarorganisasi, karena pemerintahan daerah terpisah secara institusi dari pemerintahan pusat.[16] Namun di sisi lain, UU No. 22/1999 juga mengandung pemahaman yang kontradiktif mengenai hubungan antara lembaga, seperti hubungan yang dilematis antara provinsi dengan kabupaten, karena UU tersebut disusun tidak berdasarkan a sas desentralisasi penuh dan menerapkan asas dekosentrasi juga tugas pembantuan, serta masih menganut integrated perfectoral system. Dengan demikian UU No22/1999 masih belum secara jelas mengatur hubungan berbagai tingkatan pemerintahan. Hal inilah yang mengundang multitafsir yang dipahami menurut referensi kepentingan dan preferensi masing-masing daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Astawa, I Gede Pantja, Problematika Hukum Otonomi Daerah Di Indonesia, Bandung: Pt. Alumni, 2013.
Djaenuri, H.M. Aries, Hubungan Keuangan Pusat-Daerah: Elemen-Elemen Pentng Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Damik, Khairul Ikhwan, Otonomi Daerah Etnonasionalisme Dan Masa Depan Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia: 2010
Jasin, Johan, Hukum Tata Negara Suatu Pengantar, Yogyakarta: Deepublish, 2016.
Juwaini, Jazuli, Otonomi Sepenuh Hati: Pokok-Pokok Pikiran Untuk Perbaikan Implementasi Otonomi Daerah, Jakarta: Al-I’tishom, 2007.
Kaputra, Iswan, Dampak Otonomi Daerah Di Indonesia, Jakarta:Yayasan Pustaka, 2013.
Simanjuntak, Bungaran Antonius, Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, Dan Masa Depan Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011.
Sjafrizal, Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi, Depok: Pt.Rajagrafindo, 2015.
Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintah Daerah Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
Thoha, Miftah, Birokrasi Pemerintah Indonesia Di Era Reformasi, Jakarta: Kencana, 2009.



                [1] Bungaran Antonius Simanjuntak, Dkk, Otonomi Daerah, Etnonasionalisme, Dan Masa Depan Indonesia (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), pp. 2-3.
                [2] Jazuli Juwaini, Otonomi Sepenuh Hati: Pokok-Pokok Pikiran Untuk Perbaikan Implementasi Otonomi Daerah (Jakarta: Al-I’tishom, 2007), Pp. 43-44.
                [3] I Gede Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah Di Indonesia, Bandung: P.T. Alumni, 2013, Pp. 52-53.
                [4] Sjafrizal, Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi, (Depok: Pt.Rajagrafindo, 2015). p.106
                [5] Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintah Daerah Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), p. 13.
                [6] H.M. Aries Djaenuri, Hubungan Keuangan Pusat-Daerah: Elemen-Elemen Pentng Hubungan Keuangan Pusat-Daerah (Bogor: Ghalia Indonesia), 2012. pp. 3-7.
                [7] Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah Indonesia Di Era Reformasi (Jakarta: Kencana, 2009), pp. 91.
                [8] Jasin, Johan, Hukum Tata Negara Suatu Pengantar, Yogyakarta: Penerbit
                [9] Damik, Khairul Ikhwan, Otonomi Daerah Etnonasionalisme Dan Masa Depan Indonesia Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia:2010
                [10] Jasin, Johan, Hukum Tata Negara Suatu............, p, 45.
                [11] Damik, Khairul Ikhwan, Otonomi Daerah Etnonasionalisme.... P, 78
                [12] Kaputra, Iswan, Dampak Otonomi Daerah Di Indonesia, Jakarta:Yayasan Pustaka,2013.
                [13] Jasin, Johan, Hukum Tata Negara Suatu..... p, 67.
                [14] Kaputra, Iswan, Dampak Otonomi Daerah Di.... p, 34
                [15] Jasin, Johan, Hukum Tata Negara Suatu..... p, 78.
                [16] Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah...., p.89.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

OTONOMI DAERAH MASA REFORMASI

OTONOMI DAERAH MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pergerakan Indonesia Modern   Disusun ...