OTONOMI DAERAH
MAKALAH
Diajukan
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Pergerakan Indonesia Modern
Disusun Oleh
:
Kelompok XIII
SKI/A/VI
MUNFIQOH
(143500407)
JURUSAN
SEJARAH PERADABAN ISLAM
FAKULTAS
USHULUDDIN, DAKWAH DAN ADAB
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
“
SMH “ BANTEN 2017/2018
A. Pendahuluan
Krisis
ekonomi yang melanda Indonesia pada awal tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada
1997 juga, mendorong keinginan kuat dari pemerintah pusat untuk melepaskan
sebagian wewenang pengelolaan keuangan kepada daerah dan diharapkan dapat membiayai
kegiatan pembangunan dan pelayanan masyarakat atas dasar kemampuan keuangan
sendiri. Dengan kata lain, penurunan penerimaan negara secara simultan telah
mendorong timbulnya inisiatif pemberian status otonomi kepada daerah otonom
sebagaimana telah di atur dalam UU Nomor 5 Tahun 1974 sebagai sebutan bagi
pemerintah Provinsi/kabupaten Kota di era sebelum otonomi daerah.
Otonomi
daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No 22 Tahun 1999 sebagai
titik awal pelaksanaan otonomi daerah maka pemerintah pusat menyerahkan sebagian
kewenangan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten untuk mengambil tanggung
jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat.
Untuk
menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada
prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui
diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999 serta regulasi
pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah No 104 sampai dengan Peraturan
Pemerintah No 110 Tahun 2000 yang berlaku Efektip 1 Januari 2001. Dengan
dikeluarkannya UU tersebut, maka telah terjadi perubahan secara menyeluruh
terhadap pelaksanaan tata pemerintahan yang telah dilaksanakan oleh aparatur
pemerintahan. Dalam makalah ini, penulis akan mencoba menjabarkan, bagaimana
Otonomi Daerah di Indonesia berlangsung, bagaimana cara menjalankan otonomi
daerah sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
B.
Latar Belakang
Terbentuknya Otonomi Daerah
Pada masa
kepemerintahan Soeharto atau Orde Baru segala kebijakan harus berdasar dari
pemerintah pusat ini dikarenakan pada waktu sebelum adanya otonomi daerah menggunakan
prinsip desentarlisasi. Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam
membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang pada level
bawah pada suatu organisasi, pemberian wewenang seluruhnya dipusatkan pada
pemerintah pusat saja. Pendelegasian
wewenang atau desentralisasi pertama yang dilakukan secara menyeluruh dalam
wilayah nusantara, baru tercatat dalam sebuah regulasi tahun 1903 ketika
pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Decentralisatie wet atau UU
Desentralisasi. Ini berarti selama 300 tahun sejak VOC Belanda memonopoli
perdagangan dan mendominasi sistem politik Nusantara, baru sekali inilah
Desentralisasi diperkenanlkan kepada rakyat.
Pada waktu
regulasi desentralisasi dijalankan, wilyah Hindia Belanda terbagi dalam delapan
daerah. Wewenang urus diri ini diberikan kepada Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur. Daerah lain tanpa otonomi adalah Kesultanan Yogyakarta, Kasunanan
Surakarta, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan
Irian. Namun, dengan rontoknya nilai-nilai otokrasi Orde Baru telah melahirkan
suatu visi yang baru mengenai kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, yaitu
pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia, hak politik, dan hak asasi masyarakat
(Civil Right). Pada masa Orde Baru hak-hak tersebut dirampas oleh pemerintah
pusat. Keadaan ini telah melahirkan suatu pemerintah yang sentralistis dan
otoriter sehingga telah mengabaikan hak-hak daerah.[1]
Berikutnya,
regulasi itu direvisi pada tahun 1922 menjadi UU Bestuurshervormings wet
atau Pertaturan Dasar Ketatanegaraan Hindia Belanda. Disinilah mulai dikenal
adanya wilayah yang disebut, Provinsi atau Kabupaten. Kemudian, dengan lahirnya
era reformasi dipenghujung tahun 1990 membawa perubahan-perubahan fundamental
dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya dalam tata hubungan politik
pemerintahan dan kenegaraan. Otonomi Daerah bergulir terus setelah Indonesia
merdeka dan ditandai dengan lahirnya UU nomor 1 tahun 1945 tentang Peraturan
Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah menurut ketentuan pasal 18 UUD 1945.
Berdasarkan UU ini kepala daerah menjalankan dua fungsi, yaitu sebagai kepala
daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat. Seterusnya UU itu diubah
menjadi UU nomor 22 tahun 1948 tentang Penetapan aturan-aturan pokok mengenai
pemerintahan sendiri di daerah-daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri.
Lantas lahir
UU nomor 1 tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah, dan tak lama
kemudian berubah lagi menjadi UU nomor 18 tahun 1965 tentang pokok-pokok
pemerintah daerah. Yang lantas direvisi berikutnya, hadirlah UU nomor 5 tahun
1974 tentang Pokok-pokok pemerintahan daerah pada masa pemerintahan presiden
B.J. Habibie. Revisi masih terus berlanjut dengan hadirnya UU nomor 22 tahun
1999 tentang pemerintah daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Namun kebijakan format otonomi
daerah tersebut dinilai dan dievaluasi memiliki banyak kelemahan sehingga perlu
direvisi. Salah satu kelemahannya yaitu kewenangan pemerintah pusat masih
sangat besar dan mengalami ambivalensi karena yang diatur disana hanya
merupakan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah provinsi.[2]
Maka
lahirlah menjadi UU nomor 32 tahun 2004 dan UU nomor 33 tahun 2004, memperjelas
dan merinci syarat bagi pembentukan suatu daerah otonom baru. Hal mana yang
tidak diatur dengan jelas dalam UU sebelumnya. Pembentukan daerah otonom baru
dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau beberapa daerah yang besrsanding
atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. UU nomor 32
tahun 2004 menetapkan tiga syarat pembentukan suatu daerah otonom baru.
Meliputi syarat administratif, syarat teknis, dan syarat fisik kewilayahan.
C.
Pengertian Dan Tujuan Otonomi Daerah
1.
Pengertian
Otonomi Daerah
Secara etimologis, otonomi diartikan sebagai pemerintahan sendiri
(auto= sendiri; nomes = pemerintahan). Dalam bahasa Yunani, istilah otonomi
berasal dari kata autos = sendiri, nemein = menyerahkan atau memberikan, yang
berarti kekuatan mengatur sendiri. Sehingga secara maknawi (begrif), otonomi
mengandung pengertian kemandirian dan kebebasan mengatur dan mengurus diri
sendiri.[3] Dengan demikian, pengertian otonomi
menyangkut dengan dua hal pokok yaitu: kewenangan untuk membuat hukum sendiri (own
laws) dan kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri (self goverment).
Otonomi dapat ditentukan berdasarkan teritorial (otonomi teritorial)
ataupun berdasarkan fungsi pemerintahan tertentu (otonomi fungsional), sehingga
keduanya lazim disebut masing-masing dengan desentralisasi teritorial dan
desentralisasi fungsional. Berdasarkan otonomi teritorial, negara sebagai satu
kesatuan teritorial, dibagi-bagi ke dalam satuan-satuan pemerintahan teritorial
yang lebih rendah, yang dinamakan daerah otonom. Karena daerah otonom dibentuk
dari dan oleh satuan pemerintahan yang lebih besar (pemerintahan nasional).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) terdapat kosakata otonomi
yang diterjemahkan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Dalam kamus yang sama juga terdapat kosakata lain, yakni swatantra
yang berarti pemerintahan sendiri atau otonomi. Tetapi karena swatantra tidak
begitu membumi sebagai kosakata politik, maka regulasi penting tentang
pembagian kekuasaan pusat dan daerah itu tidak dinamakan paket undang-undang swatantra.
Ketika otonomi daerah diberlakukan di Indonesia, sebenarnya pelaksanaan otonomi
di Nusantara sudah sejak lama. Masyarakat Batak Tobazaman silam sudah
menggunakan konsep otonomi daerah yang disebut bius, yakni tingkatan wilayah
yang lebih tinggi dari wilayah huta atau horja. Dalam cakupan wilayah kecil
ini, bius menetapkan peraturan-peraturan yang disebut pitara atau patik (tertib
aturan). Bius juga mendelegasikan kekuasaan kepada organisasi dibawahnya, yakni
kepala huta atau kepala desa yang disebut raja huta, serta kepala horja yang
dinamakan raja parjolo atau raja terdepan.[4]
2.
Tujuan otonomi
daerah
Salah satu misi untuk mewujudkan visi bangsa Indonesia dimasa depan
adalah perwujudan otonomi daerah dalam rangka pembangunan daerah dan pemerataan
pertumbuhan daerah. Arah kebijakan peningkatakan otonomi daerah adalah:
mengembangkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, melakukan
pengkajian atau kebijakan tentang berlakunya otonomi daerah provinsi,
kabupaten/kota dan desa, dan mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan
daerah secara adil dan mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui
desentralisasi perijinan dan investasi serta memberdayakan Dewan Perwakilan
Daerah dalam rangka melaksanakan fungsi dan perannya guna penyelenggaraan
otonomi daerah. Yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Dengan arah kebijakan tersebut,
maka daripada tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kapasitas
pemerintah daerah untuk memberdayakan masayarakat melalui upaya pelayanan
masayarakat secara lebih efektif, efesien, akuntabel, transparan, dan
responsif.
D.
Hubungan Desentralisasi
Dengan Otonomi Daerah
Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh
Benyamin Hoessien dikutip dalam buku siswanto Sunarno, desentralisasi adalah
pembentukan daerah otonom atau penyerahan wewenang tertentu kepada pemerintah
pusat. Philip Mahwod dalam buku Siswanto Sunarno juga mengatakan bahwa
desentralisasi adalah pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh
kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompok-kelompok lain masing-masing
memiliki otoritas di dalam wilayah tertentu di suatu Negara.
Dari definisi kedua pakar diatas,
menurut Jayadi N.K. dalam buku Siswanto Sunarno, bahwa mengandung empat
pengertian: pertama, desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom; kedua,
daerah otonom yang dibentuk diserahi wewenang tertentu oleh pemerintah pusat;
ketiga, desentralisasi juga merupakan pemencaran kekuasaan oleh pemerintah
pusat; keempat, kekuasaan yang dipencarkan diberikan kepada kelompok-kelompok
masayarakat dalam wilayah tertentu.[5]
E.
Konsep Otonomi
Daerah
Hak atau
wewenang otonomi daerah meliputi pengaturan pemerintah dan pengelolaan
pembangunan yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Pada
dasarnya ada dua alasan pokok mengapa dipertemukan otonomi daerah tersebut. Pertama,
adalah Political Equality yaitu guna meningkatkan partisipasi politik
masyarakat pada tinggkat daerah. Hal ini penting artintya untuk meningkatkan
demokrasi dalam pengelolaan negara.
Kedua, Lockal Accountabillity yaitu meningkatkan kemampuan dan tanggung
jawab pemerintah daerah dalam mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah.
Hal ini sangat penting artinya dalam rangkameningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kemasyarakatan respons pemerintah daerah terhadap masalah-masalahsosial ekonomi
yang tderjadi di daerahnya. Unsur ini sangat penting bagi peningkatan upaya
pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial didaerah.
F.
Asas Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah
Hal ini dapat dilihat dengan jelas
pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain pasal 1
undang-undang no 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah, dan
pasal 1 UUD no 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah serta pasal 1 UUD no
32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. Sebagai pemahaman diatas berikut
beberapa asas pemerintah daerah otonom.
1.
Asas
desentralisasi, yaitu pelimpahan kekuasaan pemerintah daerah pusat kepada
daerah-daerah yang mengurus urusan rumah tangganya sendiri (daerah-daerah
otonom), desentralisasi juga sebuah cara atau sistem untuk mewujudkan asas
demokrasi yang memberikan kesempatan pada rakyat untuk ikut serta dalam
pemerintahan negara.[6]
2.
Asas
dekosentrasi, yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah (pusat)
kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan atau kepada instansi vertikal di
wilayah tertentu. Dekonsetrasi ini dalam sistem pemerintahan daerah dijalankan
hanya berada di pemerintah daerah provinsi. Sistem ini dijalankan oleh gubernur
dan beberapa kantor wilayah (kanwil) departemen yang kewenangannya tidak
didesentralisasikan di pemerintah daerah. Di pemerintah provinsi yang diberi
hak dan wewenang melaksanakan kewenangan dekosentralisasi adalah hanya gubernur
bukan pemerintah daerah provinsi, dan kanwil dari instansi vertikal di wilayah
tertentu (Pasal 1 ayat 8 UU 32/2004).[7]
3.
Asas tugas
pembantuan, tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintahan pusat kepada
daerah dan desa, dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan tuga tertentu yang
disertai pembiyayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkan kepada yang
menugaskan. Pemerintah provinsilah yang memberi tugas itu.
Sedangkan dalam
Pedoman pemerintahan yang diatur dalam Pasal 20 UU No. 32 Tahun 2004.
Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada asas umum penyelenggaraan negara
yang terdiri atas sebagai berikut:
·
Asas kepastian
hukum adalah asas yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan,
kepatutan, dann keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara.
·
Asas tertip
penyelenggara adalah asas menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan
keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara.
·
Asas
kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif, dan selektif.
·
Asas
keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informas yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggara negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara.
·
Asas
proporsinalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban.
·
Asas
profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keadilan yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
Asas akuntabilitas
adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan
penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau
rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
·
Asas efisiensi
dan efektifitas adalah asas yang menjamin terselenggaranya kepada masyarakat
dengan menggunakan sumber daya tersedia secara optimal dan bertanggung jawab
(efisiensi = ketepatgunaan, kedaygunaan, efektivitas = berhasil guna).[8]
G.
Hakikat Otonomi Daerah
Berdasarkan pengertian-pengertian
otonomi daerah tersebut dapat disimpulkan bahwa hakikat otonomi daerah adalah
sebagai berikut:
1.
Daerah memiliki hak untuk mengatur dan mengurus rumah
tangga pemerintahan sendiri, baik, jumlah, macam, maupun bentuk pelayanan
masyarakat yang sesuai kebutuhan daerah masing-masing.
2.
Daerah memiliki wewenang untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri, baik kewenangan mengatur maupun mengurus rumah tangga
pemerintahan sendiri sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[9]
H.
Prinsip Otonomi Daerah
Prinsip ototnomi daerah menggunakan prinsip otonomi
seluas-luasnya, prinsip otonomi yang nyata, dan berprinsip otonomi yang
bertanggung jawab. Jadi, kewenangan otonomi yang diberikan terhadap daerah
adalah kewenangan otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab. Berikut
prinsip-prinsip otonomi daerah.
Prinsip otonomi seluas-luasnya, artinya daerah diberikan
kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan yang mencakup kewenangan
semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan terhadap bidang politik luar
negeri, keamanan, moneter, agamar, peradilan, dan keamanan. serta fiskal
nasional.[10]
Prinsip otonomi nyata, artinya daerah diberikan
kewenangan untuk menangani urusan pemerintahan berdasarkan tugas, wewenang, dan
kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
Prinsip otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi
yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan
maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah
termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari
tujuan nasional.
I.
Pokok-pokok
Pikiran Otonomi Daerah
Otonomi daerah
adalah wacana yang hangat dibicarakan dan diperdebatkan karena menyangkut
bagaimana upaya negara untuk menyejahterakan rakyat. Di Indonesia, wacana
otonomi daerah menguat di tahun 1990-an. Dalam kurun waktu cukup lama,
Indonesia telah melaksanakan pemerintahan yang terpusat dengan paradigma
pembangunan sebagai landasan nilai yang menjadi acuan kebijakan pemerintah.
Sistem sentralistik yang mengakar kuat dan mendarah daging membuat isu
desentralisasi atau otonomi daerah menjadi ‘barang asing’ yang bahkan
definisinya pun tidak mudah untuk dipahami. Meskipun keluarnya Undang-undang
No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang No. 25 tahun
1999 tentang perimbangan hubungan keuangan pusat-daerah sudah cukup meredam
tuntutan aspirasi daerah.[11]
Pengertian
otonomi daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 sebagai amandemen UU No. 22 Tahun
1999 adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan desentralisasi adalah penyerahan
wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepala daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Gagasan otonomi daerah merupakan konsep yang masih kabur. Para penggagas
otonomi daerah tidak menjelaskan secara jernih konsep yang ditawarkannya,
bahkan sekedar mendefinisikan konsepkonsep tersebut. Misalnya, sampai sejauh
mana atau sampai sebatas mana otonomi yang seluas luasnya itu; apakah yang
dimaksud dengan federalisme dalam kerangka negara kesatuan adalah konsep yang
dicampuradukkan atau penerapan konsep-konsep negara bagian untuk beberapa
provinsi saja; apakah kekhususan dari otonomi khusus; apakah otonomi penuh
berarti pemerintahan sendiri dalam artian pemerintah daerah memiliki hak dan
kekuasaan penuh dalam menentukan arah dan tindakannya sendiri. Semuanya serba
tidak jelas dan memicu diskusi yang lebih bersifat debat. Bagaimana pun juga,
otonomi merupakan kebutuhan, karena tidak mungkin seluruh persoalan yang ada di
satu negara di tangani oleh pemerintah pusat. Terlebih lagi, Indonesia adalah
negara kepulauan yang terdiri dari wilayah yang dipisahkan oleh perairan.
Masing-masing
wilayah memiliki ciri khas berdasarkan letak geografis, kondisi alam dan
sosiokulturalnya. Persoalan yang timbul dari keberagaman wilayah dan
sosiokultural masyarakat pun tentunya akan sangat kompleks. Dari kenyataan ini
saja dapat dinilai betapa otonomi daerah dan desentralisasi sistem pemerintah
perlu dilakukan agar persoalan dan aneka kompleksitas yang muncul tidak
memberikan implikasi negatif terhadap integrasi. Otonomi daerah merupakan
sistem yang memungkinkan daerah untuk memiliki kemampuan mengoptimalisasi
potensi terbaik yang dimilikinya dan mendorong daerah untuk berkembang sesuai
dengan karakteristik ekonomi, geografis, dan sosial budayanya.
Perkembangan
daerah yang sesuai dengan karakteristiknya ini akan mengurangi kesenjangan
antardaerah yang selama ini terakumulasi, dan pada akhirnya dapat mencegah
disintegrasi bangsa. Ada dua pendekatan yang didasarkan pada dua
proposisi. Pertama, pada
dasarnya segala persoalan sepatutnya diserahkan kepada daerah untuk mengidentifikasikan,
merumuskan, dan memecahkan persoalan, kecuali untuk persoalan-persoalan yang
tidak mungkin diselesaikan oleh daerah itu sendiri dalam perspektif keutuhan
negara-bangsa. Kedua, seluruh persoalan pada dasarnya harus
diserahkan kepada pemerintah pusat kecuali untuk persoalanpersoalan tertentu
yang telah dapat ditangani oleh daerah. Yang pertama disebut sebagai pendekatan
federalistik, sedangkan yang kedua sebagai pendekatan unitaristik.
J.
Pemahamam
Konflik dalam Otonomi Daerah
Otonomi daerah
lahir atau kembali diterapkan kembali ke dalam sistem kekuasaan di Indonesia
adalah sebagai bentuk jalan keluar untuk mendistribusikan rasa keadilan kepada
daerah yang selama masa Orde Baru diabaikan. Pada masa Orde Baru, otonomi
daerah ditetapkan melalui UU No. 57 Tahun 1974 yang menitikberatkan pada daerah
tingkat II. Hanya saja, terlihat bahwa bentuk otonomi yang dijalankan lebih
merupakan ‘sarana’ untuk memudahkan kontrol pusat terhadap daerah. Pemerintahan
di tingkat daerah hanya merupakan representasi pusat yang bersifat
administratif, pelaksana kebijakan pusat dan tidak memiliki ruang untuk
mengatur ‘diri sendiri’. Dalam hal hubungan antara negara dengan rakyat,
birokrasi praktis menjadi kendaraan yang efektif untuk melakukan managing people,
mengatur seluruh kegiatan kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[12]
Melalui
birokrasi masyarakat diatur dalam berbagai bentuk aturan yang kerap kali tidak
sesuai dengan kebutuhan obyektif, lebih merupakan kepentingan pusat. Masyarakat
tidak diberikan ruang berpartisipasi mengatur apa yang mereka butuhkan dalam
bermasyarakat dan bernegara. Masyarakat benar-benar diposisikan sebagai obyek
daripada sebagai subyek. Birokrasi telah kehilangan rasionalitasnya, yang
mengharuskannya bersikap obyektif, netral, dan politik.
Usaha Orde Baru
melakukan birokratisasi dan politik korperatif, tidak lepas dari strategi
pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi sehingga membutuhkan
stabilitas politik sebagai prasyarat pencapaian target pertumbuhan ekonomi. Karena
itu, depolitisasi melalui perangkat birokrasi merupakan cara yang efektif untuk
menciptakan iklim politik yang stabil. Korperatisme negara sendiri sebenarnya
memiliki arti ideal sebagai upaya negara membuat segmentasi masyarakat secara
vertikal, mengungkung individu dan kelompok dalam kerangka struktur yang
ditetapkan secara legal yang mendapatkan legitimasi dan diintegrasikan oleh
suatu pusat birokrasi yang tunggal.
Proses
birokratisasi dan politik korperatif dilaksanakan untuk memperlancar kebijakan-kebijakan
yang telah dirumuskan oleh teknokrat di tingkat pusat, sehingga dapat
mengeliminasi kemungkinan adanya resistensi dari dalam masyarakat. Pemerintah
tidak ragu untuk menyingkirkan pihak-pihak yang tidak mendukung kebijakan
pembangunan, dan pada waktu yang sama juga akan merangkul pihak-pihak yang
mendukung kebijakannya. Untuk mendukung srategi politik represif dalam
menangani resistensi dari masyarakat, pemerintah juga menggunakan instrumen
militer. Hal tersebut dapat dilihat dari pembentukan pos-pos militer hingga ke
distrik terendah. Dengan demikian pemerintah dengan mudah memantau dan cepat
dapat menangkap gejala-gejala resistensi dari dalam masyarakat.
Usaha
pemerintah untuk menciptakan stabilisasi politik, juga dilakukan melalui
strategi ideologis, dengan cara menanamkan pemahaman betapa pentingnya harmoni
dalam masyarakat. Strategi ideologi ‘harmoni’ dirumuskan oleh pemerintah ke
dalam apa yang disebut dengan tri “S”; Selaras, Seimbang dan Serasi.
NIdeologisasi harmoni oleh Orde Baru ini seolah mendapatkan pembenaran dari
doktrin agama maupun budaya bahwa keharmonisan hidup dalam bermasyarakat
merupakan cita-cita luhur yang selalu ditekankan.[13]
Dalam ajaran
Tuhan, manusia dituntut untuk patuh pada perintahNya, diwajibkan hidup selaras,
serasi dan seimbang dengan manusia lainnya serta dengan alam sekitarnya. Dalam
kehidupan ketatanegaraan di Indonesia, kehidupan sosial yang rukun, damai,
aman, bahagia, sentosa mendapat legitimasi dari ideologi negara, Pancasila.
Ideologi harmoni dipolitisasi oleh Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan.
Akselerasi penerimaan ideologi harmoni dalam masyarakat, dilakukan melalui
berbagai strategi, mulai dari menutup pintu adanya perbedaan pendapat, hingga
dengan cara indoktrinasi yang dilakukan secara sistematis melalui pola
Penataran Pendidikan Moral Pancasila (P4).
Pola kekuasaan
yang sentralistis dan kebijakan yang bersifat top down, mengakibatkan
ketidakseimbangan secara sosial, politik dan ekonomi di tengah masyarakat.
Birokrasi menjadi mesin politik penguasa. Para pejabat birokrasi berperilaku
asal bapak senang (ABS), pasif, menunggu instruksi atasan dan mengabaikan
kepentingan umum. Masyarakatpun menjadi tidak dapat mandiri mengelola dan
menyelesaikan konflik yang mereka hadapi, serta memberikan loyalitas yang tidak
rasional kepada struktur kekuasaan. [14]
Tumbuhnya
organisasi swadaya masyarakat (LSM) yang menyuarakan kepentingan dan aspirasi
rakyat disikapi oleh pemerintah secara represif, dinilai berpotensi dapat
mengganggu pembangunan. Contoh kasus tragedi Waduk Nipah dan Waduk Kedungombo,
yang kedua-duanya terjadi pada pertengahan tahun 1990-an, memperlihatkan
bagaimana pemerintah memperlakukan masyarakat bukan bagian dari pembangunan dan
disikapi secara represif.
Reformasi
politik yang diawali oleh gerakan mahasiswa dan pergantian pucuk pimpinan
nasional, dari Soeharto kepada Habibie telah membuka kembali pintu bagi daerah
untuk mengatur dirinya secara otonom.[15]
Pemerintahan Habibie saat tu telah menerbitkan Undang-undang No 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No 25 tahun 1999 tentang
Perimbangan Anggaran Keuangan antara Pusat dan Daerah. Penerbitan kedua
Undang-undang tersebut merupakan wujud dari komitmen pemerintah untuk
mengembalikan hak otonomi daerah untuk mengatur wilayahnya secara mandiri yang
selama Orde Baru dikendalikan oleh pusat dan dituding sebagai penyebab
ketidakseimbangan distribusi pembagian kue pembangunan oleh pusat kepada
daerah. Daerah hanya menjadi perahan pusat.
Penerimaan
daerah yang diberikan oleh pusat tidak sebanding dengan yang diberikan daerah
kepada pusat. Hanya saja daerah tidak dapat berbuat banyak, akibat tekanan
melalui politisasi birokrasi yang sistematis. Beberapa gerakan separatis di
daerah pada intinya merupakan bentuk ketidak puasan ‘daerah’ terhadap ketidakadilan
pembangunan yang berorientasi pusat, seperti GAM di Aceh dan OPM di Papua –
dahulu Irian Jaya. Gerakan perlawanan sekelompok masyarakat, hal tersebut
dilakukan karena pemerintahan dan birokrasi di daerah tidak berdaya menghadapi
pusat dan berperan lebih sebagai representasi pusat dari masyarakat. Pemberian
otonomi yang sangat besar kepada daerah, disatu sisi merupakan langkah maju
bagi proses demokratisasi di tingkat lokal yang menghormati realitas
kemajemukan dalam masyarakat. Model ini sejalan dengan konsep demokrasi lokal
yang memberikan hak otonomi kepada sekolompok masyarakat yang mendiami wilayah
tertentu, sesuai dengan karateristik dan aspirasi lokal.
Selain itu
pemberlakukan otonomi juga telah membawa perubahan pola hubungan antarlembaga
pemerintahan, tidak lagi bersifat hirarkis. Hubungan antarlembaga pemerintahan
berjalan seimbang dan berubah menjadi hubungan antarorganisasi, karena
pemerintahan daerah terpisah secara institusi dari pemerintahan pusat.[16]
Namun di sisi lain, UU No. 22/1999 juga mengandung pemahaman yang kontradiktif
mengenai hubungan antara lembaga, seperti hubungan yang dilematis antara
provinsi dengan kabupaten, karena UU tersebut disusun tidak berdasarkan a sas
desentralisasi penuh dan menerapkan asas dekosentrasi juga tugas pembantuan,
serta masih menganut integrated perfectoral system. Dengan demikian UU
No22/1999 masih belum secara jelas mengatur hubungan berbagai tingkatan
pemerintahan. Hal inilah yang mengundang multitafsir yang dipahami menurut referensi
kepentingan dan preferensi masing-masing daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Astawa, I Gede Pantja, Problematika Hukum Otonomi Daerah Di
Indonesia, Bandung: Pt. Alumni, 2013.
Djaenuri, H.M. Aries, Hubungan Keuangan Pusat-Daerah:
Elemen-Elemen Pentng Hubungan Keuangan Pusat-Daerah, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2012.
Damik, Khairul Ikhwan, Otonomi Daerah Etnonasionalisme Dan Masa
Depan Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia: 2010
Jasin,
Johan, Hukum Tata Negara Suatu Pengantar, Yogyakarta: Deepublish, 2016.
Juwaini, Jazuli, Otonomi Sepenuh Hati: Pokok-Pokok Pikiran Untuk
Perbaikan Implementasi Otonomi Daerah, Jakarta: Al-I’tishom, 2007.
Kaputra, Iswan, Dampak Otonomi Daerah Di Indonesia,
Jakarta:Yayasan Pustaka, 2013.
Simanjuntak, Bungaran Antonius, Otonomi Daerah,
Etnonasionalisme, Dan Masa Depan Indonesia, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2011.
Sjafrizal, Perencanaan Pembangunan Daerah Dalam Era Otonomi,
Depok: Pt.Rajagrafindo, 2015.
Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintah Daerah Di Indonesia, Jakarta:
Sinar Grafika, 2006.
Thoha, Miftah, Birokrasi Pemerintah Indonesia Di Era Reformasi,
Jakarta: Kencana, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar